Oleh. Pangi Syarwi
Pendekatan Baru Dalam Dunia Politik
Setelah
Bab Pendahuluan dan Bab I. Pada Bab II di dalam buku tersebut Firmanzah
lebih banyak menekankan pembahasanyang menjelaskan mengenai pendekatan
baru dalam dunia politik. Dalam Bab II ini Firmanzah, ada beberapa
tema-tema penting yang dituliskan oleh Firmanzah, yang membagi beberapa
hal yaitu Partama, juga menyingung tentang menuju hubungan relasional. Kedua adalah Kalaborasi program. Ketiga kepuasaan konstituen. Keempat loyalitas pemilih.
Di
era multipartai seperti sekarang ini, marketing politik menjadi
kebutuhan yang tidak terelakkan. Bukan hanya partai-partai baru dan
relatif kecil pendukungnya yang memerlukan marketing politik guna
mengontrol citra dan popularitasnya agar dapat menangguk suara yang
memadai, tetapi juga partai-partai besar yang telah eksis dan mapan pun
tidak bisa meremehkan kehadiran instrumen yang satu ini. Ini kalau
mereka tidak ingin suaranya tergerus atau melorot posisinya pada pemilu.
Aktivfitas marketing politik pun sudah merambah ke media massa, baik
cetak, online maupun elektronik.
Pemilih
dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon
kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau ‘platform’ partai
bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai di masa lampau (back ward looking), dan (2) tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada (forward-looking).
Pemilih
tidak hanya melihat program kerja atau ‘platform’ partai yang
berorientasi ke masa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah
dilakukan oleh partai tersebut di masa lampau. Kinerja partai atau
calon kontestan biasanya termanivestasikan pada reputasi dan ‘citra’ (image)
yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks ini yang lebih utama bagi
partai politik dan kontestan adalah mencari cara agar mereka bisa
membangun reputasi di depan publik dengan mengedepankan kebijakan untuk
mengatasi permasalahan nasional. hlm 134-138.
Selain itu, informasi teoritis yang berkaitan dengan Marketing Politik
kurang populer di kalangan paraktisi politik, dan pengamat politik,
baik di daerah maupun di perguruan tinggi. Akhir-akhir ini marketing
sudah banyak diterapkan dalam politik, institusi politik pun
membutuhkan pendekatan alternatif untuk membangun hubungan dengan,
konstituen dan masyarakat luas, dalam hal ini marketing sebagai disiplin
ilmu yang berkembang dalam dunia bisnis yang di asumsikan berguna bagi
institusi politik.
Di
Indonesia marketing politik disinyalir mulai digunakan sejak tahun
1990-an. Tapi di dunia, marketing politik digunakan sejak sebelumnya
Perang Dunia II, yaitu pertama kali pada tahun 1917 ketika Partai Buruh
di Inggris meresmikan Departemen Publikasi dibantu oleh agen publikasi
Egerton Wake. Sedangkan di Amerika Serikat pertama kali digunakan pada
tahun 1926 ketika pesan politik dilakukan melalui media cetak seperti
poster pamflet, koran dan majalah (Firmanzah, 2007).[1]
Konsep Marketing Politik (Political Marketing)
Pada
dasarnya political marketing adalah strategi kampanye politik untuk
membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih.
Serangkain makna politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih
menjadi oreantasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih
kontestan tertentu. Makna politis inilah yang menjadi output penting political marketing yang menentukan pihak mana yang akan dicoblos oleh para pemilih.
Sejatinya
marketing dan politik adalah dua disiplin ilmu yang bertolak-belakang.
Rasionalitas marketing mengacu pada persaingan dengan tujuan
memenangkannya secara efektif. Pada titik ini marketing menjadi media
untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin. Sebaliknya rasionalitas
politik bergerak pada tataran proses menciptakan tatanan masyarakat yang
ideal melalui sistematisasi perebutan kekuasaan.
Di
era multipartai seperti sekarang ini, marketing politik menjadi
kebutuhan yang tidak terhindarkan. Bukan hanya partai-partai baru dan
relatif kecil pendukungnya yang memerlukan marketing politik guna
mengontrol citra dan popularitasnya agar dapat menangguk suara yang
memadai, tetapi juga partai-partai besar yang telah eksis dan mapan pun
tidak bisa meremehkan kehadiran instrumen yang satu ini.
Ini
kalau mereka tidak ingin suaranya tergerus atau melorot posisinya pada
pemilu mendatang. Inilah kemudian yang menjadi dasar pemikiran
dikawinkannya marketing dengan politik, metode dan pendekatan yang
terdapat dalam ilmu marketing dapat membantu institusi politik untuk
membawa produk politik, distribusi produk politik, kepada publik dan
menyakinkan bahwa produk politiknya lebih unggul dibandingkan dengan
pesaing.[2]
Pengunaaan metode marketing dalam bidang politik dikenal sebagai marketing politik (political marketing),
dalam marketing politik yang ditekankan adalah pengunaaan pendekatan
dan metode marketing untuk membantu politikus dan partai politik agar
lebih efesien dan lebih efektif membangun dua arah dengan konstituen dan
masyarakat, hubungan ini diaartikan secara luas, dari kontak fisik
selama periode kampanye sampai dengan komonikasi tidak langsung melalui
pemberitaan di media massa.
Marketing
politik telah menjadi suatu fenomena, tidak hanya dalam ilmu politik,
tetapi juga memunculkan beragam pertanyaan para marketer yang selama ini
sudah terbiasa dalam konteks dunia usaha. Tentunya terdapat beberapa
asumsi yng mesti dilihat untuk tidak memahami marketing politik, karena
konteks dunia politik memang banyak mengandung perbedaan dengan dunia
usaha, politik berbeda dengan produk retail, sehinga akan berbeda pula
muatanya yang ada diantara keduanya, politik terkait erat dengan
pernyataan sebuah nilai.
Tidak
hanya itu, aktivitas marketing politik pun sudah merambah ke media
massa, baik cetak, online maupun elektronik. Beberapa parpol pasang
iklan di koran-koran serta tokoh-tokohnya mulai mengkampanyekan
kelebihan dan keunggulan partainya di media elektronik. Bahkan, beberapa
figur anggota calon legislatif secara diam-diam menjalin kerjasama
dengan lembaga riset tertentu untuk mengukur kansnya lolos sebagai
anggota legislatif.[3]
Jika
dipetakan, aktivitas marketing politik yang dilakukan oleh partai
politik dan para tokohnya itu rata-rata baru sebatas pemanfaatan peran
media massa (publikasi) dan riset pasar/politik. Untuk riset politik,
sudah lama dimanfaatkan oleh elit parpol atau kandidat parpol yang maju
dalam Pilkada, dan riset untuk para caleg baru menjelang Pemilu 2009
saat ini.
Kekhawatiran akan rusaknya sistem sosial akibat perkawinan ini tampaknya ingin disanggah oleh Firmanzah dengan mengutip statement A. O’Cass yang berkisar pada kontekstualitas marketing. Marketing kata O’Cass secara filosofis menjadi suatu tools untuk mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat (baca: pemilih).
Agar
marketing politik dapat efektif, maka partai politik atau politisi
harus mampu merumuskan satu fokus atas sasaran yang akan dituju. Partai
politik harus mampu mengenali konstituennya, simpatisannya dan terus
menerus mengamati apa yang dilakukan oleh para pesaingnya. Dengan
demikian, maka partai politik akan mampu merumuskan ”Citra Target” yang
diinginkan dan mempunyai fokus dalam membidik targetnya.[4]
Karena itu, pemahaman awal terhadap Marketing Politik
yang diberikan ketika perkuliahan disosialisasikan ke kalangan
masyarakat level menengah ke bawah dapat memberikan informasi dan
stimulus berupa dukungan seluruh kalangan masyarakat untuk terlibat
dalam memotivasi masyarakat dan pengurus Partai politik untuk
meningkatkan pemahaman pemilu. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat
membuka wacana baru mengenai Marketing Politik dalam sebuah pendekatan baru dalam memenangkan baik dalam pemilihan presiden, Gubernur, Bupati, DPD, dan lain-lain.
Adapun
konsep Marketing politik dalam domain politik buku Firmansyah,
Marketing Politik dengan Judul buku; Marketing Politik: Antara Pemahaman
Dan Ralita. Penulis menyimpulkan dan menganalisis konsep ini diambil
dari buku firmanzah pada halaman 160-173. Edisi revisi kedua November
2008 Yayasan Obor Indonesia.
1. Oreantasi Pasar
Dalam
iklim persaingan, entitas yang melakukan persaingan harus mengahadapi
kenyataan bahwa mereka bersaing untuk memperebutkan konsumen, untuk
memenangkan persaingan dalam politik, partai harus memuaskan kebutuhan
masyarakat luas, kebutuhan yang dimaksud tentu kebutuhan politik,
masyarakat membutuhkan produk politik seperti program kerja, idiologi,
harapan dan figur pemimpin yang dapat memberikan rasa pasti untuk
menghadapi masa depan, tidak hanya itu, politik juga harus mampu
menyakinkan, masyarakat bahwa inilah cara yang dapat menyelesaikan
masalah pada masa kini.[5]
2. Orentasi Persaingan
Kondisi
multi partai semakin meningkatkan kesadaran akan persaingan yang sehat,
bebas kolosi dan intervensi pemerintah terbukti telah membuat partai
partai politik mengahadapi kenyataan bahwa mereka harus bersaing
langsung dengan para lawan atau pesaing.
Persaingan sangat dibutuhkan oleh partai politik karena beberapa hal. Pertama
melalui persangan partai dapat mengevaluasi secara objektif apakah
yang mereka lakukan sudah benar atau tidak, benar atau tidaknya dilihat
melalui perolehan suara sendiri jika dibandingkan dengan rival utama
mereka, apabila perolehan suara mereka lebih tinggi dibandingkan dengan
rival, apabila perolehan suara lebih tinggi di bandingkan dengan pesaing
utama, berarti pemilih partai tersebut memiliki nilai dibandingan
dengan yang lain, persaingan dibutuhkan untuk terus memotivasi partai
politik agar berusaha lebih bagus dan tidak mudah puas dengan apa yang
telah di raih.
3. Oreantasi Konsumen
Hal
penting yang harus dimiliki oleh partai adalah kemampuan alam menilai
dan mengevaluasi siapa konsumen mereka . Pemilih menurut popkin (1994)
akan memilih partai atau kandidit yang memiliki kedekatan idiologi dan
kebijakan. Partai atau kandidat harus memiliki hubungan erat terkait
aktivitas dengan masyarakat, konsumen dalam hal ini masyarakat harus
ditampung aspirasinya dan diterjemahkan dalam bentuk program kerja,
masyarakat adalah inspirasi dan ide untuk mengetahui apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat.
Kemenangan
partai politik dalam setiap pemilu dan terpilihnya kepala daerah dan
menang dalam pemilukada tidak terlepas dari marketing politik
(Firmanzah, 2009: 120). Inilah kemudian yang menyebabkan mereka berhasil
membentuk citra yang baik dibanding para kompetitornya atau para
kontestan yang lain. Hal ini terlihat dalam kutipan pada bab kata
pengantar oleh firmanzahdalam buku Marketing Politik Antara Pemahaman
dan Realitas. [6]”Marketing politik tidak bisa lepas dari produk dan proses penyampaian produk marketing politik. (Adnan Nursal, 2004: 205).
Media Massa Sebagai Saluran Marketing Politik
Media
massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak
yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat
diterima secara serentak dan sesaat. Perkataan dapat menjadi sangat
rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan, komunikator dalam media
massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan
dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat
yang secara spasial terpisah. Dengan daya jangkau yang relatif luas dan
dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda.
Relevan
dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat,
bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator,
situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak
dapat mengatur arus informasi, situasi komunikasi akan mendorong belajar
yang efektif. Dalam konteks era informasi sekarang ini, institusi media
massa seperti televisi dan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan
dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan
secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan makna tentang
realitas ada dan pengalaman dalam kehidupan, bisa ditransformasikan
media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota
masyarakat secara luas. Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak
yang terlibat dalam pemanfaatan media massa.
Ada 6 (enam) jenis riset berikutnya yang penting dilakukan adalah riset marketing politik untuk memantau perkembangan opini publik. Pertama, focus group analysis,
dilakukan beberapa bulan sebelum pemilihan. Idealnya 12-14 bulan
sebelum pemilihan. Riset dilakukan dengan membentuk empat sampai lima
group diskusi yang masing-masing terdiri dari 8 sampai 12 orang. Kedua, benchmark survey,
untuk mengetahui perincian kekuatan dan kelemahan kontestan-kontestan
yang bersaing. Pada survei ini diketahui juga peluang-peluang yang dapat
dimanfaatkan dan tantangan atau ancaman yang mesti diantisipasi.
Idealnya banchmark survey ini dilakukan 10 hingga 12 bulan sebelum pilkada dengan melibatkan 500 sampai 1.200 responden.
Ketiga, focus group analysis after benchmark, dengan melibatkan beberapa grup yang terdiri dari 8 sampai 12 partisipan, untuk mendiskusikan secara mendalam hasil benchmark survey. Keempat, trend survey yang dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll. Hal ini dilakukan beberapa bula setelah benchmark poll,
ketika kampanye sedang berjalan dimana masing-masing kontestan sudah
menjalankan strateginya. Survei ini melibatkan 500 sampai 1.200 pemilih.
Kelima, dial meter atau tes pasar tentang iklan kontestan dan
iklan pesaing berdasarkan hipotesis kandidat sebelum iklan disiarkan.
Tes ini biasanya melibatkan 30 sampai 40 orang partisipan untuk melihat
bagaimana respons partisipan terhadap iklan yang akan disiarkan.
Supaya hasil marketing
politik lebih maksimal, maka kandidat sebaiknya di samping berkutat
pada pemanfaatan akses media massa dan riset politik belaka, tetapi
perlu ditambah dengan pola atau strategi lain yang lebih kreatif dan
inovatif. Karena sejatinya aktivitas marketing politik tidak hanya terpaku pada 2 hal itu saja tapi masih banyak yang lain.
Pertama, karena marketing politik lebih daripada sekadar komunikasi politik, menurut Lees-Marshmant (2001), ia mesti diaplikasikan pada seluruh roses organisasi partai politik. Tidak hanya pada momentum menjelang pilkada atau tahapan pemilu saja ia diejawantahkan, tetapi harus sedini mungkin, misalnya pada tahap bagaimana memformulasikan produk politik lewat penciptaan simbol, image, platform, isu politik hingga program kerja.
Kedua, dalam menerapkan marketing politik seyogianya menggunakan konsep marketing secara luas, tidak hanya pada teknik marketing, tetapi juga sampai pada strategi marketing mulai dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program, serta desain produk hingga ke market intelligent dan pemrosesan informasi.
Ketiga, dalam menerapkan marketing
politik hendaknya juga melibatkan disiplin ilmu komunikasi, sosiologi,
dan psikologi. Hal ini karena produk politik merupakan fungsi dari
pemahaman komunikasi dan sosiologis mengenai simbol dan identitas,
sedangkan faktor psikologisnya adalah kedekatan emosional dan karakter
seorang pemimpin hingga pada aspek rasionalitas platform partai. Keempat, penerapan konsep marketing
politik jangan hanya berhenti hingga pemilihan umum tapi juga harus
terus berlanjut setelah itu, yaitu proses lobi politik di parlemen.
Justru di situlah efektivitas marketing politik dipertaruhkan.
Yang pasti, jika masing-maisng kandidat peserta pilkada ingin mendulang
sukses dan meraih dukungan sebanyak-banyak dari rakyat dan masyarakat,
penggunaan marketing politik (political marketing)
yang efektif dan komprehensif sejak dini menjadi sesuatu yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Kalau tidak, Anda komunitas politik siap-siap gigit
jari.
Pilkada sebagai suatu proses transaksi political trading dalam jangka panjang dapat dikategorikan sebagai political investment.
Agar tidak terjadi kolaborasi kohesif-negatif antara pemilih dengan
kandidat setelah kemenangan dicapai yang akan syarat dengan politik
balas budi (rewarding politics) dan berpotensi KKN, dibutuhkan adanya accountable politics, yakni etika politik yang diinstitusionalisasikan dengan kekuatan hukum positif bersanksi (law enforcement).
Jika tidak terbangun moral politik yang baik dan benar, sukses pilkada hanya dalam pelaksanaan pilkada (3 bulan) akan tetapi tidak menghasilkan pemimpin yang sukses membangung pascapilkada (5 tahun).
Kandidat
terpilih diharapkan mampu membangun hubungan dengan konstituen dalam
jangka panjang dengan jaringan berskala translokal. Sangat memungkinkan
apabila sukses (memimpin dengan baik, dan mengelola administrasi dengan
benar), akan mempermudah membangun political marketing.
Inti BukuMarketing Politik:Antara Pemahaman dan Realitas.
Pada
intinya didalam buku firmanzah, bab 5 dan bab 9 buku yang
berjudulMarketing Politik:Antara Pemahaman dan Realitas, dalam buku
tersebut ada beberapa fenomena yang menarik yang diuraikan secara jelas
tentang marketing politik dalam pemilu. Firmanzah mencoba menjelaskan
fenomena-fenomena baru untuk menjelaskan strategi dan gaya kampanye
untuk memenangkan sebuah pemilu, Firmanzah kemudian mencoba mengkawinkan
antara ekonomi dan politik.
Inti
atau pesan yang ingin disampaikan oleh Firmanzah dapat saya tangkap
bahwa kemenangan partai politik dalam setiap pemilu dan terpilihnya
kepala daerah dan menang dalam pemilukada tidak terlepas dari marketing
politik (Firmanzah, 2009: 120). Inilah kemudian yang menyebabkan mereka
berhasil membentuk citra yang baik dibanding para kompetitornya atau
para kontestan yang lain. Hal ini terlihat dalam kutipan pada bab kata
pengantar oleh firmanzahdalam buku Marketing Politik Antara Pemahaman
dan Realitas. [7]”Marketing politik tidak bisa lepas dari produk dan proses penyampaian produk marketing politik.
Ilmu
marketing berangkat dari kondisi persaingan bagaimana suatu usaha
memenangkan persaingan di pasar, agar produk lebih unggul dan kompetitif
dibandingkan dengan para pesaingnya. Sementara ilmu politik adalah ilmu
yang bertujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat melalui
sistematisasi perebutan kekuasaan. Secara hakiki, politik berkaitan
dengan upaya untuk mendapatkan konotasi yang buruk dalam bahasa bahasa
dunia. Akhir akhir ini marketing sudah banyak di terapkan dalam
politik, institusi politik pun membutuhkan pendekatan alternatif untuk
membangun hubungan dengan, konstituen dan masyarakat luas, dalam hal ini
marketing sebagai disiplin ilmu yang berkembang dalam dunia bisnis
yang di asumsikan berguna bagi institusi politik.
Di
dalam Pendahuluan buku Firmanzah ini menerangkan secara jelas marketing
politik menjelma menjadi kebutuhan ketimbang sekedar polemik sosial
politik. Di Bab 1 Firmanzah memandang bahwa marketing politik merupakan
kebutuhan yang menawarkan solusi mengefektifkan penyusunan produk,
segmentasi, positioning dan komonikasi politik. Bab ini secara khusus
membahas hingar bingar dalam dunia politik, membahas segala perkembangan
dalam dunia politik yang membuatnya semakin mendesaknya penerapan
marketing dalam dunia politik.
Dalam
Bab Pendahuluan misalnya, Firmanzah melihat dan mengungkapkan
tulisannya tentang fenomena marketing politik yang melihatnya sebagai
konvergensi kebutuhan dunia politik untuk lebih mengoptimalkan
pendekatan-pendekatan politis melalui konsep dan metode yang terdapat
dalam marketing kepada masyarakat, baik dimasa kampanye pemilu maupun
kampanye non-pemilu.
Firmanzah
menuliskan di dalam bab I ini lebih kepada realitas politik terutama
perilaku elit atau politik, sulit dipungkiri dalam politik terjadinya
konflik, yang sebenarnya merupakan warna warni politik, namun akan
menjadi persoalan konflik terbuka yang diwarnai dengan kekerasan atau
menghalalkan segala cara. Dalam organisasi kecil saja konflik yang
disertai dengan kekerasan menimbulkan rusak atau malahan musnahnya
organisasi tersebut.
Saya
mencatat karya tulisan Firmanzah setidaknya ada beberapa poin inti yang
merupakan pesan penting yang dituliskan dan dapat kita tangkap intinya.
Pertama,hubungan
politik antara partai politik (hubungan relasional) dengan konstituen
merupakan hubungan suatu arah yang bisa dikatakan hanya bermanfaat bagi
partai politik. Konstituen yang hanya mempunyai ikatan idiologis atau
emosional dengan partai tertentu menyerahkan sepenuhnya nasib mereka
pada partai, yang berbeda dengan demokrasi sekarang.
Kedua, kepuasan
konstituen dalam hubungan relasional antara partai politik dengan
konstituen dan masyarakat secara luas, hal penting yang harus
dipertimbangkan oleh partai politik adalah kepuasaan masyarakat. Ketika
masyarakat menilai bahwa secara keseluruhan terdapat perbaikan kualitas
hidup, kepuasaan terhadap partai yang berkuasa meningkat. Begitu juga
sebaliknya ketika melihat kualitas hidup menurun seperti tinggi tingkat
inflasi, pengaguran dan rendahnya kualitas penerapan hak asasi manusia,
secara tidak langsung kepuasaan terhadap partai pun menurun terutama
terhadap partai yang berkuasa.[8]
Tingginya
tingkat kepuasan masyarakat sangat membantu untuk meningkatkan reputasi
dan citra suatu partai politik dalam jangka panjang. Kondisi seperti
ini juga memudahkan partai politik atau konstestan individu bersangkutan
selama periode kampanye resmi pemilihan umum. Dengan baiknya reputasi,
suatu partai politik memiliki kemudahan untuk membuat masyarakat rela
memberikan suara mereka kepadanya. Soalnya masyarakat percaya memberikan
suara mereka dan akan membantunya untuk memenangkan pemilihan umum.
Keempat,
loyalitas pemilih dalam urainnya tersebut Firmanzah lebih menekankan
bahwa hubungan relasional dengan masyarakat adalah menciptakan loyalitas
konstituen terhadap partai politik atau individu, sebab pada dasarnya
mempertahankan kemenangan atau juara lebih sulit dari pada merebut,
semua partai ingin memenangkan suara dimasa yang akan datang. Kemenangan
pemilu selanjutnya sulit tercapai tanpa adanya kesetian konstituen yang
loyal yang akan mengurangi ketidak pastian yang berkecamuk
ditengah-tengah para pemilih dalam pemilu partai politik.
Saya
menangkap inti terhadap apa yang disampaikan oleh Firmanzah dalam buku
Bab I tersebut, lebih memfokuskan pada konseptual atau pengertian
marketing politik secara umum, bagaimana membedakan antara marketing
dan politik. Pada dasarnya dua kata tersebut sangat berbeda, antara
marketing dengan politik, marketing lebih banyak kita mendengarnya
diistilah ekonomi, marketing lebih kepada pemasaran, sementara politik
lebih kepada bagaimana merebut sebuah kekuasaan dengan cara memenangkan
peperangan. Jadi penulis melihat perbedaan keduanya. Kalau marketing
berangkat dari persaingan untuk memenangkan sebuah kompetisi dalam usaha
atau dagang sementara politik berangkat dari persaingan dalam kompetisi
merebut kursi kekuasaan. Ide dan gagasan yang dibangun oleh Firmanzah
lebih bagaimana mengawinkan atau kaloborasi antara dua hal yang berbeda
berdasarkan tinjauan tujuan dan asumsinya yang sangat berbeda.
Bab III Firmanzah membagi tipologi pemilih yang dibagi menjadi beberapa hal. Pertama, pemilih rasional yaitu pemilih memiliki oreantasi tinggi pada problem solving
dan beroreantasi rendah pada faktor idiologi. Pemilih dalam hal ini
lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon konstituen.
Mereka tidak hanya melihat program kerja tetapi juga melihat apa saja
yang telah dilakukan partai tersebut dimasa lampau. Pemilih seperti ini
tidak mementingkan idiologi namun faktor-faktor faham, asal-usul, nilai
tradisional, budaya agama dan spikografis tetap menjadi pertimbangan.
Penulis
melihat dalam praktik Pemilu 2009, marketing politik dapat kita amati
dalam proses kampanye politik baik melalui media lini atas (above line media), media lini bawah (below line media), maupun pendekatan media baru (new media campaign).
Beragam aktivitasnya misalnya, iklan politik, publisitas, public
relations. Kampanye menurut Roger dan Storey serangkaian tindakan
komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada
sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun
waktu tertentu.
Inti
marketing politik: antara pemahaman dan realitas yang ditulis oleh
Firmanzah pada dasarnya persinggungannya dengan teori-teori politik
mutakhir (misalnya soal the political, political frontier, chains of equivalence)
jadi nihil. Persinggungannya jadi lebih banyak ke teori pemasaran:
segmentasi, pengemasan. Penulis tidak salah, dalam arti dia melihat
realitas yang berlaku sekarang. Tapi apakah pemasaran politik yang
seperti ini akan membawa perbaikan? ada satu permasalahan mendasarnya:
barang selalu segmented, barang hasil produksi paling massal
pun tidak bisa menjangkau semua orang, sementara politik semestinya
menyangkut suatu cita-cita bersama yang inklusif, yang menjangkau semua
orang.
Sumber : pangisyarwi.com
Posting Komentar