Sekarang insya Allah kita sudah memiliki gambaran tentang pemaknaan tarbiyah ruhiyyah dalam kehidupan jamaah kita. Ikhwah sekalian, setelah kita memasuki dunia politik maka sisi iman berupa sense of war dan energy melawan itu mengambil bentuk dan porsi yang sangat besar. Sisi ini belum kita rasakan betul saat kita masih berada di periode awal dakwah kita. Dan ini yang telah saya jelaskan saat di Makassar tentang makna politik pada sisi prosesnya.
Kalau kita mencoba mengambil intisari dari seluruh konsep, mafahim, manahij, dan juga wasail tarbiyah ruhiyyah yg begitu banyak, kira-kira kita bisa menyimpulkan bahwa factor penguat ruhiyyah dibentuk oleh dua hal:
1- الْمَفَاهِيْمُ الرُّوْحِيَّةُ
2- الأَعْمَالُ التَّعَبُّدِيَّةُ
Pemahaman ruhiyyah dan amalan-amalan ta’abbudiyyah.
Jadi kekuatan ruhiyyah itu dibentuk oleh pemahaman-pemahaman ruhiyyah kita di satu sisi dan di sisi lain oleh amalan-amalan.
Mafahim Ruhiyyah
Jika kita berbicara ttg mafahim ruhiyyah secara sederhana adalah seperti yang disimpulkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-waabil As-Shayyib: bahwa seluruh perjalanan hidup kita sebagai mu’min akan menjadi sempurna ketika kita ada dalam dua kaca mata yang berimbang:
مُشَاهَدَةُ الْمِنَّةِ وَ الاِعْتِرَافُ بِالْقُصُوْرِ
Mempersaksikan semua karunia yang diberikan oleh Allah swt di satu sisi dan di sisi lain adalah pengakuan atas kelalaian-kelalaian kita. Antara apa yg kita persembahkan kepada Allah dengan apa yang diberikan ALLah itu tidak pernah imbang. Kita menerima karunia Allah jauh lebih banyak dari amal yang kita persembahkan kepada Allah swt. Situasi inilah yang membuat kita berada diantara al-khauf wa ar-raja (takut dan berharap), kesadaran yang berkesinambungan bahwa apa yang kita berikan tidak akan pernah bisa mencukupi atau mengimbangi karunia Allah swt.
A’mal Ta’abbudiyyah
Di dalam kesadaran seperti itulah ikhwah sekalian saya ingin mengambil intisari dari wasail/a’mal tarbiyah ruhiyyah itu yaitu focus pada tiga hal yang paling kuat yaitu tilawatul quran, shalat, dan dzikir.
1. Tilawatul Qur’an
Ada dua bentuk tilawah:
التِّلاَوَةُ التَّعَبُّدِيَّةُ وَ التِّلاَوَةُ التَّأَمُّلِيَّةُ
Tilawah ta’abbudiyyah (tilawah ritual ibadah) dan tilawah ta-ammuliyyah (tilawah perenungan).Tilawah ta’abbudiyyah diwajibkan kepada setiap kader 1 juz setiap hari. Saya ingin menjelaskan sedikit secara amaliyah/praktek: kadang-kadang karena kesibukan implementasi tilawah dalam mutabaah di liqa tarbawi kita tidak sempurna, saya kira kita mengalaminya. Saya ingin memperkenalkan istilah nizham al-qadha (system qadha/ganti): kalau tilawah ta’abbudiyyah kita tidak beraturan, tidak bisa 1 juz setiap hari, kita mesti menyediakan waktu sekali dalam seminggu untuk meng-qadha semua kekurangan tilawah pada pekan itu. Atau karena kesibukan yang sangat padat bisa jadi kita meng-qadha utk sebulan, jadi dalam satu tahun kita tetap minimal mengkhatamkan 12 kali. Dan sebaiknya kalau ada hutang tilawah tidak diganti dengan infaq, tetapi diqadha dengan amal yang sama di waktu senggang yang kita sediakan. Ini solusi supaya kita selalu berada dalam kesinambungan.
Yang kedua, sudah saatnya kita memperbanyak waktu utk tilawah ta-ammuliyyah dengan melakukan pendekatan berbasis tematik, kita mulai membaca quran dengan pendekatan ta-ammul (perenungan mendalam), dan mencoba melakukan istilham (mencari ilham/inspirasi) dari AL-Quran ini. Kita mencoba berimajinasi seperti dahulu Muhammad Iqbal melakukannya, dan juga dalam sejarah Imam Syahid sendiri. Waktu beliau membaca Al-Quran, orang tuanya bertanya: “Apa yang kamu baca?” Saya sedang membaca Al-Quran. Lalu orang tuanya mengatakan: “Bacalah Al-Quran itu seolah-olah ia diturunkan kepadamu.” Karena Al-Quran ini diturunkan pada fase yang lama, tidak sekaligus, oleh karena itu unsur momentum menjadi penting dalam memahaminya. Dan momentum-momentum itu diciptakan oleh Allah berulang dalam kehidupan manusia sehingga kemungkinan kita melakukan qiyas (analogi) kepada momentum-momentum itu sangat banyak walaupun tidak persis sama kejadiannya, tetapi kita tetap bisa mendapatkan ilham dari situ, karena Al-Quran dating dengan kaidah-kaidah umum dan tidak tergantung kepada kehususan sebab peristiwa turunnya. Kaidahnya adalah:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Ibrah dari ayat itu adalah dengan keumuman lafaznya (teksnya) dan bukan dengan kekhususan sebab turunnya.Konteks turunnya penting memberikan kita ilham untuk menemukan kesamaan, tetapi ibrahnya tetap saja berlaku umum. Surat-surat Al-Quran itu memiliki kedekatan-kedekatan antara satu dengan lainnya. Seperti surat Al-Anfal, At-Taubah, Muhammad dan Al-Fath adalah surat-surat jihad dari sisi tema suratnya.
Contoh lain: ketika kita melihat kata al-makr (makar) di dalam Al-Quran, maka ayat-ayatnya menjelaskan bagaimana konstruksi konseptual dari makar itu dalam tinjauan Al-Quran. Salah satu yang menarik bahwa semua makar yang disebutkan dalam Al-Quran selalu dihubungkan dengan sifat Allah yang terkait dengan Al-qudrah (kemahakuasaan Allah) dan selalu diletakkan dalam konteks al-qadha wal qadar, supaya kita membaca tentang makar manusia sehebat apapun, tetapi kendali alam semesta ini tetaplah dalam kekuasaan Allah swt seperti ayat yang dibacakan tadi oleh “Hafizh” anak salah seorang ikhwah yg sudah hafal 30 juz:
(وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لا يُعْجِزُونَ (٥٩
Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah).Begitu juga ayat-ayat yang terkait dengan fakta-fakta alam raya, seperti angin yang dijelaskan sebagai salah satu tentara Allah swt, oleh karena itu sains tidak pernah punya ilmu pasti tentang arah angin, tetapi selalu perkiraan, karena Allah lah yang yusharrifuhu (mengarahkannya) sekehendak-Nya .
Bahwa setiap benda ada malaikat yang mengurusnya, waktu kita naik pesawat melalui turbulence, ada malaikat yang khusus mengatur akan dibawa kemana angin itu.
Pembacaan dan perenungan seperti ini akan meningkatkan penghayatan kita dan dengan sendirinya akan memberikan kepada kita pencerahan ruhiyyah, terutama saat kita menghadapi begitu banyak syubuhat (hal-hal yang kabur), atau berhadapan dengan keadaan kritis. Efek dari penghayatan itu akan muncul di saat-saat seperti itu. Dialah yang memberikan kita kepastian, dialah yang juga memberikan kita keteguhan.
Saya kira kita memang memiliki masalah bahasa untuk melakukan tilawah ta-ammuliyyah bagi ikhwah/akhawat yang tidak berbahasa arab. Disamping fakta ini harus disesali (krn dia bahasa ahlul jannah) juga kita harus mengurangi penyesalan ini dengan rajin membaca kitab tafsir yang Alhamdulillah beberapa referensi utamanya sdh diterjemahkan. Kita bersyukur karena gerakan terjemah selama 20 tahun ini luar biasa kemajuannya.
2. Shalat
Shalat adalah imaduddin atau tulang punggung dari tadayyun (religiusitas) kita. Saya ingin menjelaskan sedikit hal-hal yang aplikatif. Kira-kira jumlah rakaat shalat wajib dan sunnah yang kita lakukan sehari berjumlah 42 rakaat: 17 rakaat shalat 5 waktu, 10 rakaat sunnah rawatib (2 sebelum zhuhur, 2 sesudah zhuhur, 2 sesudah isya dan 2 sebelum subuh), 4 rakaat dhuha, 11 rakaat QL.
Yang faraidh (wajib) kita harus berusaha melaksanakannya dalam keadaan berjamaah di masjid atau di kantor atau di perjalanan, agar kita mendapat penggandaan pahala dan keutamaannya. Lalu berusaha menjaga 10 rakaat yang rawatib tadi dan selalu kita menjadikannya sebagai standar. Shalat dhuha saya kira tidak terlalu sulit bagi kita melakukannya karena masih segar di pagi hari.
Tentang QL: kita hidup di era yang tidak terlalu normal, sebagian waktu kita ditentukan oleh orang lain sehingga kita tidak bisa tidur seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah saw di awal malam. Faktor-faktor yang membuat kita bisa tahajjud seperti yang disebutkan oleh Imam Ghazali dalam Al-Ihya seperti qailulah misalnya hampir kita tidak bisa melaksanakannya. Juga kemacetan di kota dll. Ada anjuran yang baik dari ust Salim bahwa witir yang biasa kita lakukan tiga rakaat langsung saja kita laksanakan 11 rakaat. Sehingga kita bisa menggenapkan 42 rakaat dalam sehari.
Ikhwah sekalian sebenarnya yang penting dari ibadah-ibadah ini adalah al-muwazhabah (kesinambungan). Misalnya jika kita belum kuat shalat qiyam dengan waktu dan bacaan yang lama, lakukanlah terus menerus meski dengan surat-surat pendek, terus menerus. Nanti secara perlahan-lahan kita pasti akan menemukan kekuatan-kekuatan baru sambil jalan untuk melakukannya lebih lama. Kalau kita tidak bisa melakukan 11 rakaat, witirnya kita tambah dari 3 menjadi 5 rakaat, naik menjadi 7 dan seterusnya. Sekali lagi yang penting adalah kesinambungan. Insya Allah kalau kita melaksanakan tilawah dan shalat secara berkesinambungan seperti ini kita akan mempunyai tingkat stabilitas ruhiyyah yang bagus.
3. Dzikir (muthlaq)
Yang saya maksudkan adalah dzikir mutlak, kalau wazhifah kubra/ al-ma’tsurat saya piker antum semua sudah tahu. Imam Syahid berijtihad mengumpulkan doa-doa yang bertebaran dari sekian banyak hadits dikumpulkan jadi satu dan dianjurkan untuk dibaca pagi dan petang.
Seandainya karena kesibukan dan lain-lain kita tidak sempat melakukannya, secara umum penggantinya adalah dzikir mutlak ini, misalnya istighfar yang kit abaca seratus kali atau seribu kali, la ilaha illallah seratus atau seribu kali. Dzikir mutlak ini yang kita perbanyak sehingga ini yang mengimbangi wirid-wirid yang kita baca dalam sehari.
Sebenarnya dzikir ini adalah tools untuk menjaga ingatan kita kepada tujuan akhir.
Inilah 3 wasail utama tarbiyah ruhiyyah, mudah-mudahan memberikan kita energi untuk memikul beban dan energi utk melawan musuh insya Allah.
Rata-rata kita sudah terlibat dalam tarbiyah 15 atau 20 tahun, dan dari sisi umur rata-rata kita yg hadir ini juga tidak bisa disebut muda lagi. Kalau kita melihat bahwa umur ummat Rasulullah saw itu antara 60 sd 70 th, maka kita sudah memasuki sepertiga terakhir. Kalau kita melihat hal ini dan lingkungan hidup seperti sekarang ini, hampir bisa dipastikan bahwa kita tidak bisa melakukan amal-amal besar kecuali satu atau dua saja. Umur 0-20 manusia paling kuat perkembangannya pada aspek fisik, mencapai puncaknya di usia 20-an, 20-an sd 40 adalah puncak pencapaian intelektual, 40 – 60 adalah sisi ruhiyahnya. Persimpangan 40-an ini ketika fisik kita masih kuat, intelektualitas mencapai puncaknya, kita sedang memasuki fase spiritual yang kuat. Biasanya ini disebut sebagai tahun-tahun kematangan sekaligus fase terakhir dari hidup kita. Jadi kita kalau kita menggeluti sesuatu seperti tarbiyah ini dari usia 20-an sampai usia 40-an, maka fase 40-an ini adalah “golden age” dari seluruh pencapaian hidup kita semuanya. Kira-kira seperti firman Allah swt:
(وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (٢٢
Dan tatkala dia (Nabi Yusuf) cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.Oleh karena itu kita berharap di dalam fase hidup ini kita bisa melakukan sesuatu yang besar atau saya sering mengistilahkan dengan amal unggulan yang kita harapkan bisa mengantarkan kita ke surga. Penting agar ini menjadi kesadaran individual kita semua bahwa kita sedang memasuki sepertiga terakhir dari perjalanan hidup kita dan mesti ada pencapaian yang benar-benar besar sekali lagi yang bisa mengantarkan kita ke surga. Semoga bermanfaat.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Posting Komentar