Setiap memasuki bulan Mei ada satu momentum yang tak lekang dalam memori kolektif bangsa ini yaitu momentum kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional adalah penanda sejarah bahwa bangsa ini dibangun dengan upaya perjuangan yang tidak mudah, susah payah dan melelahkan bahkan hingga berdarah-darah merenggut banyak jiwa dan raga.
Kebangkitan nasional sekaligus menegaskan bahwa semangat perjuangan nyatanya mampu mengalahkan penjajahan hingga melahirkan kemerdekaan. Dan inti dari kemerdekaan adalah persis yang digelorakan oleh Bung Karno melalui pidatonya yang terkenal pada tahun 1963 yang diberi judul “Trisakti”, yaitu: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.
Pilar Kebangsaan
Para pendiri negara rupanya telah menyiapkan rancang bangun Republik Indonesia merdeka dengan platform kebangsaan yang bukan saja fondasional tapi juga genuine dan konsisten dengan imajinasi indonesia merdeka seperti yang disuarakan Bung Karno di atas.
Rumusan sila-sila Pancasila jelas memberikan alas kuat tentang watak dan kepribadian kita sebagai bangsa, yaitu bangsa yang relijius (relegious nation-state) berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; bangsa yang punya wawasan dan sikap kemanusiaan universal; bangsa yang beragam tapi memilih untuk bersatu yang secara tepat dikandung makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika; bangsa yang mentradisikan musyawarah mufakat–penuh hikmat kebijaksanaan–sebagai bentuk demokrasi khas Indonesia; serta bangsa yang mengedepankan kolektivisme (keadilan sosial) vis-a-vis paham individualisme.
Lima sila falsafah negara tersebut lalu dirangkai maknanya secara baik dalam konstitusi negara UUD 1945. Visi pembentukan karakter manusia Indonesia, misalnya, ditegaskan melalui suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia; serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia (Pasal 31 Ayat (3) dan (5)).
Spirit berdikari secara ekonomi telah pula dijabarkan dalam sebuah narasi besar perekonomian nasional yang tegas mengatakan: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, juga ditegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (Pasal 33)
Dus, merujuk falsafah dan konstitusi negara tersebut sejatinya kita memiliki dasar-dasar dan arah pembangunan negara pascakolonial yang jelas dan kuat. Hanya saja dasar dan arah tersebut belum secara konsisten dipedomani, baik oleh pemimpinnya maupun rakyatnya.
Realitas Kebangsaan
Pun demikian, narasi dan kehendak kebangsaan kita nyatanya tidak hidup dalam ruang hampa. Globalisasi yang begitu pesat berkembang telah mengubah tata dunia (world order) dan hubungan antarnegara dalam batas yang semu (terra in cognita). Era ini ditandai dengan dominasi budaya global (baca: liberal kapitalistik) dengan kecenderungan masyarakat yang makin individualistik dan materialistik. Sayangnya lagi kita tidak sedang menjadi negara-bangsa dominan diantara negara-bangsa dunia.
Nampak kuat kecenderungan makin kikisnya nilai moral dan identitas karakter bangsa. Empati, sopan santun, tata krama, toleransi, kejujuran, gotong royong terasa makin sulit dicandrai dari watak kebangsaan kita. Sebaliknya, pergaulan bebas, pornografi, narkoba, kejahatan seksual, LGBT, korupsi, radikalisme, konflik komunal, dan penyakit/bencana sosial lain nampak mulai marak.
Ekonomi kapitalistik dunia juga sudah menginvasi perekonomian nasional. Perusahaan-perusahaan multinasional asing begitu aktif menegosiasi penguasaan atas sumber daya alam Indonesia. Sementara kapasitas dan competitivenes negara untuk mengeksplorasi kekayaan alam belum menunjukkan potensinya. Akibatnya negara sering berada pada posisi tawar yang tidak menguntungkan bahkan cenderung bergantung (dependen).
Belum lagi ketergantungan yang diciptakan oleh utang negara (publik maupun swasta) yang kian membengkak untuk membiayai pembangunan dan menutup defisit APBN. Berdasarkan data Bank Indonesia (Maret 2016) posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Januari 2016 tercatat sebesar USD308,0 miliar (Rp. 4.234 Triliun) yang terdiri dari ULN sektor publik dan sebesar USD143,4 miliar (46,6% dari total ULN) dan dan ULN swasta sebesar USD164,6 miliar (53,4% dari total ULN). Sebuah angka sangat besar dan sedikit banyak mempengaruhi kemandirian dan/atau kedaulatan politik ekonomi Indonesia.
Memaknai Kebangkitan
Momentum kebangkitan nasional hari-hari ini justru semakin relevan bagi generasi bangsa dalam perspektif membangun kesadaran bahwa kita belum berdaulat, berdikari, dan berkarakter sebagai sebuah bangsa sebagaimana imajinasi para pendiri bangsa.
Dalam kondisi seperti ini yang dibutuhkan adalah kebangkitan kesadaran dan kepedulian (awareness) untuk menjaga kedaulatan NKRI dari berbagai rongrongan dan invasi asing terhadap eksistensi dan relevansi ideologi negara (pancasila) yang didalamnya terkandung watak dan karakter bangsa kita.
Kita juga perlu membangkitkan kesadaran dan kepedulian untuk menjaga daulat politik dan ekonomi atas penguasaan sumber daya alam yang notabene saat ini banyak diincar bahkan sudah ‘dikuasai’ asing dan para kompradornya di dalam negeri. Sangat mungkin itu semua terjadi karena kebodohan (sebagian) kita, sehingga kebangkitan nasional juga harus jadi memomentum untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan intelektualitas kita sebagai bangsa sehingga tidak mudah dibodohi dan makin kompetitif di era ini.
Dengan kualitas pendidikan yang bagus akan lahir manusia-manusia Indonesia yang berkarakter unggul dan memiliki tanggung jawab moral kebangsaan yang kuat sehingga tidak mungkin menggadaikan kekayaan negeri ini untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Kebangkitan juga harus dimaknai sebagai upaya serius mengentaskan kemiskinan dengan kebijakan ekonomi pembangunan yang semakin merata dan berkeadilan bukan sekedar mengejar angka-angka pertumbuhan. Dalam konteks ini, pemerintah seyogiyanya merancang secara sistematis APBN yang berpihak pada kebangkitan dan gairah ekonomi rakyat kecil sehingga disparitas ekonomi yang begitu lebar selama ini dapat diatasi secara bertahap dan terukur.
Selain itu, penting menghadirkan kebijakan yang mendorong kemandirian ekonomi bagi setiap warga negara. Menyadari hal itu, Fraksi PKS DPR, antara lain telah mengajukan inisiatif Rancangan Undang-Undang tentang Kewirausahaan Nasional yang menjadi prioritas pembahasan tahun 2016. RUU ini diharapkan dapat menjadi katalisator lahirnya banyak wirausahawan baru melalui keberpihakan kebijakan negara sehingga ekonomi tumbuh dan berkembang dengan basis kemandirian rakyat.
Akhirnya kita menyadari bahwa ada banyak permasalahan kebangsaan yang kita hadapi dan itu menjadi tantangan yang harus dijawab dengan respon yang tepat, yaitu dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh untuk menghadirkan kembali karakter dan kemandirian kita sebagai sebuah bangsa. Dengan cara itulah kita memaknai kebangkitan nasional Indonesia. (Dimuat: Koran Sindo, 19 Mei 2016/foto: inilah.com)
Tags
PKS Pusat