Sekitar 84 tahun lampau, ratusan pemuda dari beraneka latar belakang
suku, dan daerah berkumpul di sebuah bangunan di Jalan Kramat Raya 106
Jakarta Pusat, sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik
Sie Kok Liong. Pada rapat penutup di gedung Indonesische Clubgebouw di
Jalan Kramat Raya 106 itu, para pemuda yang hadir mengucapkan suatu
Sumpah Setia yang dikemudian hari dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Sumpah Setia itu merupakan hasil rumusan Kongres Pemuda Kedua yang
diadakan oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah
organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia.
Kongres Pemuda Kedua itu konon merupakan respon dan reaksi para pemuda
atas Kongres Pertama di tahun 1926.
Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa ormas pemuda memboikot
kongres tahun 1926 karena ditumpangi kepentingan Zionis atau Freemasonry
dan Belanda. Lokasi Konggres Pertama yang berada di loge Broederkaten
di Vrijmetselarijweg dan peran Theosofische Vereeniging (TV) sebagai
penyandang dana Kongres Pemuda I 1(926) itulah yang kemudian menjadikan
para pemuda memboikot kongres (lihat: Jejak Sejarah Yahudi di Indonesia,
Ridwan Saidi).
Isi Sumpah Pemuda versi orisinal tersebut adalah[1]:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Demikianlah isi Sumpah Pemuda yang merupakan sumpah setia hasil
rumusan Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres
Pemuda II, yang dibacakan pada 28 Oktober 1928. Selanjutnya, tanggal ini
kemudian diperingati sebagai “Hari Sumpah Pemuda”.
Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas
ketika Mr. Sunario, tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah
tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan
panjang-lebar oleh Yamin[2].
Demikianlah selintas kisah sejarah Sumpah Pemuda. Seberapa pentingkah
Pemuda sehingga sampai-sampai sumpahnya pemuda menjadi salah satu kisah
yang mengisi sejarah Republik Indonesia? Jauh sebelum Sumpah Pemuda itu
ada, Rasul SAW telah bersabda dalam hadits Abdullah bin Mas’ud
-radhiallahu ‘anhu-, “Tidak akan beranjak kaki anak Adam pada Hari
Kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) :
Tentang umurnya dimana dia habiskan, tentang masa mudanya dimana dia
usangkan, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia
keluarkan dan tentang apa yang telah dia amalkan dari ilmunya”. (HR.
At-Tirmizi).
Selanjutnya dalam kesempatan lain, Rasul SAW memberikan kabar gembira
dalam hadits yang shahih, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh
Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya,” lalu beliau
menyebutkan di antaranya, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam penyembahan
kepada Rabbnya.”
Jika sumpah pemuda menggagas sumpah nasionalisme yang hanya terbatas
pada konsep daerah dan wilayah tertentu, maka Islam yang diajarkan
melalui Rasul SAW mengajarkan sumpah penghambaan hanya kepada Allah SWT
saja.
Sumpah Syahadah (sebutlah demikian_pen), ternyata telah ampuh dan
sangat jauh lebih ampuh melahirkan para pemuda-pemuda harapan dunia, tak
hanya bangsa.
Sebutlah saja misalnya dari proses tarbiyah (pendidikan) Rasul SAW,
telah lahir sejumlah pemuda hebat seperti yang paling muda adalah 8
tahun, siapa lagi kalau bukan Ali bin Abi Thalib dan Az-Zubair bin
Al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, 11 tahun, Al Arqaam bin Abil Arqaam 12
tahun, Abdullah bin Mazh’un berusia 17 tahun, Ja’far bin Abi Thalib 18
tahun, Qudaamah bin Abi Mazh’un berusia 19 tahun, Said bin Zaid dan
Shuhaib Ar Rumi berusia dibawah 20 tahun, ‘Aamir bin Fahirah 23 tahun,
Mush’ab bin ‘Umair dan Al Miqdad bin al Aswad berusia 24 tahun, Abdullah
bin al Jahsy 25 tahun, Umar bin al Khathab 26 tahun, Abu Ubaidah Ibnuk
Jarrah dan ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Amir bin Rabiah, Nu’aim bin Abdillah, ‘
Usman bin Mazh’un, Abu Salamah, Abdurrahman bin Auf dimana kesemuanya
sekitar 30 tahun, Ammar bin Yasir diantara 30-40 tahun, dan Abu Bakar
Ash Shiddiq 37 tahun.
Mereka secara keseluruhannya adalah kalangan pemuda, bahkan ada
diantara mereka adalah remaja yang belum atau baru dewasa. Usamah bin
Zaid diangkat oleh Nabi SAW sebagai komandan untuk memimpin pasukan kaum
muslimin menyerbu wilayah Syam (saat itu merupakan wilayah Romawi)
dalam usia 18 tahun. Padahal diantara prajuritnya terdapat orang yang
lebih tua seperti Usamah, Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan lain-lainnya.
Abdullah bin Umar telah pula memiliki semangat juang yang bergelora
untuk berperang sejak berumur 13 tahun. Ketika Rasulullah SAW sedang
mempersiapkan barisan pasukan pada perang Badar, Ibnu Umar bersama al
Barra’ datang kepada Rasul SAW seraya meminta agar diterima sebagai
prajurit. Saat itu, Rasulullah SAW menolak kedua pemuda kecil itu. Tahun
berikutnya, pada perang Uhud, keduanya datang lagi, tapi yang diterima
hanya Al barra’. Dan pada perang Al Ahzab barulah Nabi menerima Ibnu
Umar sebagai anggota pasukan kaum muslimin (lihat Shahih Bukhari VII/266
dan 302).
Kisah mengharukan lain muncul dalam peristiwa yang sangat menarik
untuk renungan para pemuda di zaman ini. Peristiwa ini selengkapnya
diceritakan oleh Abdurrahman bin Auf: “Selagi aku berdiri di dalam
barisan perang Badar, aku melihat ke kanan dan ke kiri ku. Saat itu
tampaklah olehku dua orang Anshar yang masih muda belia. Aku berharap
semoga aku lebih kuat daripada mereka. Tiba-tiba salah seorang daripada
mereka menekanku sambil berkata: ‘Wahai paman, apakah engkau mengenal
Abu Jahal ?” Aku menjawab: ”Ya, apakah keperluanmu padanya, wahai anak
saudaraku?” Dia menjawab: ”Ada seorang memberitahuku bahawa Abu Jahal
ini sering mencela Rasulullah saw. Demi (Allah) yang jiwaku ada
ditangan-Nya, jika aku menjumpainya tentulah tak kan kulepaskan dia
sampai siapa yang terlebih dulu mati antara aku dengan dia!” Berkata
Abdurrahman bin Auf: ‘Aku merasa heran ketika mendengarkan ucapan anak
muda itu’. Kemudian anak muda yang satu lagi menekanku pula dan berkata
seperti temannya tadi. Tidak lama berselang daripada itu aku pun melihat
Abu Jahal mondar dan mandir di dalam barisannya, maka segera aku
kabarkan (kepada dua anak muda itu): ”Itulah orang yang sedang kalian
cari.”
Keduanya langsung menyerang Abu Jahal, menikamnya dengan pedang
sampai tewas. Setelah itu mereka menghampiri Rasulullah SAW (dengan rasa
bangga) melaporkan kejadian itu. Rasulullah berkata: ‘Siapa di antara
kalian yang menewaskannya?’ Masing-masing menjawab: ‘sayalah yang
membunuhnya’. Lalu Rasulullah bertanya lagi: ‘Apakah kalian sudah
membersihkan mata pedang kalian?’ ‘Belum’ jawab mereka serentak.
Rasulullah pun kemudian melihat pedang mereka, seraya bersabda: ‘Kamu
berdua telah membunuhnya. Akan tetapi segala pakaian dan senjata yang
dipakai Abu Jahal (boleh) dimiliki Mu’adz bin al Jamuh.” (Berkata perawi
hadits ini): Kedua pemuda itu adalah Mu’adz bin “Afra” dan Mu’adz bin
Amru bin Al Jamuh” (lihat Musnad Imam Ahmad I/193; Sahih Bukhari Hadits
nomor 3141 dan Sahih Muslim hadits nombor 1752).
Sangat luar biasa membaca kisah para pemuda Islam masa-masa dahulu di
dalam menggenggam tauhid dan menjiwai penghambaannya kepada Allah SWT.
Tak hanya berkorban harta, jiwa dan nyawanya pun ia pertaruhkan untuk
dzat yang paling mulia, Allah SWT. Para pemuda itu benar-benar
mewujudkan ”sumpah syahadah” mereka untuk benar-benar mempersembahkan
hidup, mati, dan segala pengorbanan mereka demi Allah SWT.
Dan ternyata para pemuda-pemuda seperti itu tak sedikit dimiliki oleh
Islam pada setiap zamannya. Agak sedikit menjauh dari zaman para
sahabat Nabi SAW, lahirlah generasi keemasan Islam pertama setelah Rasul
SAW.
Pemuda itu bernama Umar bin Abdul Aziz yang diangkat menjadi khalifah
pada usia 37 tahun. Beliau dilantik menjadi Khalifah selepas kematian
Sulaiman bin Abdul Malik tetapi beliau tidak suka kepada pelantikan
tersebut. Lalu beliau memerintahkan supaya memanggil umat Islam untuk
mendirikan sholat. Selepas itu orang-orang pergi ke masjid. Lantas
beliau mengucapkan puji-pujian kepada Allah dan berselawat kepada Nabi
SAW kemudian beliau berkata:
“Wahai sekalian umat manusia! Aku telah diuji untuk memegang tugas
ini tanpa meminta pandanganku terlebih dahulu dan bukan pula
permintaanku serta tidak didiskusikan bersama dengan umat Islam.
Sekarang aku membatalkan baiat yang kamu berikan kepadaku dan pilihlah
seorang Khalifah yang kamu ridhoi”.
Tiba-tiba orang-orang serentak berkata:
“Kami telah memilih kamu wahai Amirul Mukminin dan kami juga ridho
kepada kamu. Oleh yang demikian perintahlah kami dengan kebaikan dan
keberkatan”.
Lalu beliau berpesan kepada umat: “Wahai sekalian umat manusia!
Sesiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati dan sesiapa yang tidak
taat kepada Allah, dia tidak wajib ditaati oleh sesiapapun. Wahai
sekalian umat manusia! Taatlah kamu kepada aku selagi aku taat kepada
Allah di dalam memimpin kamu dan sekiranya aku tidak taat kepada Allah,
janganlah sesiapa mentaati aku”. Setelah itu beliau turun dari mimbar.
Adakah pemimpin sekarang yang melakukan sumpah syahadah seperti itu?
Saya sangat berharap akan ada dan harus ada.
Dalam kisah lainnya tentang Umar bin Abdul Aziz sesaat setelah
diangkat menjadi Khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan
pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta.
Umar: “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas
berlian yang kau pakai atau Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
Kata Fatimah, “Demi Allah, aku tidak memilih pendamping lebih mulia
daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh
perhiasanku.”
Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu
dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara
Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu
roti dan garam sedikit.
Itulah sepenggal kisah seorang pemuda Islam yang bersumpah setia dengan syahadahnya. Islam bangga dengan kehadiran mereka.
Selain Umar, sejarah juga masih mencatat beberapa pemuda pengharum
dunia dan penerang bumi. Mereka diantaranya adalah Muhyiddin Abu Zakaria
Yahya bin Syirfu al Nawawi atau yang lebih dikenal dengan Imam Nawawi.
Ia menghafaz Al-Quran sejak kecil lagi. Ketika berusia 19 tahun, ia
pergi ke kota Damsyik (Damaskus) untuk belajar.
Dalam suatu riwayat Imam Nawawi pernah diusir oleh Sultan al-Malik
al-Zahir karena beliau berfatwa tidak membenarkan Sang Raja yang
mengharuskan mengambil harta rakyat -meskipun untuk keperluan memerangi
orang-orang Tartar- selama kekayaannya sendiri masih dapat dipergunakan.
Imam Nawawi mengatakan demikian karena sang Sultan diketahui memiliki
seribu orang pembantu yang tiap-tiap orangnya memikul banyak emas dan
memiliki 200 pembantu wanita yang masing-masing mengenakan perhiasan
yang bernilai. Begitulah letak syahadah pemuda Islam yang menjiwai Imam
Nawawi. Baginya, kekuasaan tidak bernilai di depan kebenaran.
Tokoh pemuda lain bernama Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (773 – 852 H), yang
ketika remaja telah menghafal kitab al Hawi karangan Al Mawardi dan
kitab Mukhtasar karangan Ibnul Hajib. Tidak lama setelah itu berangkat
ke Mekkah dan belajar dan kemudian menjadi Qadhi Mesir lebih kurang
selama 2l tahun dalam usia yang masih muda. Lagi-lagi contoh pemuda
Islam yang setia dengan sumpah syahadahnya.
Imam Suyuthi, menghabiskan waktu mudanya untuk berpindah-pindah dari
satu negeri ke negeri lain mencari ilmu, dari Bagdad sampai ke Syria
(Syam), sampai ke Hijaz, Yaman, India, Marokko, Tekruri dan lain-lain
daerah Islam ketika itu. Hasilnya, Kitab Tafsir Jalalayn keluar dari
penanya.
Nama abadi dari generasi yang menorehkan tinta emas dalam sejarah
Islam juga mencatat nama Muhammad Fatih atau Sultan Mehmed II. Ia
merupakan pemuda yang memiliki kecerdasan multi bidang. Ia menguasai
bidang militer, sains, matematika & menguasai 6 bahasa saat berumur
21 tahun. Jika sekarang, ia oleh dibilang sebagai seorang Profesor
Doktor dengan predikat Summacumlaude dari beberapa bidang.
Tepat pukul 1 pagi hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan
dengan tanggal 29 Mei 1453 M, tentara Utsmaniyyah dibawah
kepemimpinannya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu
Edirne. Ketika itu, ia baru berumur sekitar 21 tahun. Penulis melihat
tidak ada seorang komandan yang seusianya sudah mampu meruntuhkan
kekuatan negara Super Power saat itu.
Tak kurang cerita pemuda Muhammad Al Fatih ini. Diceritakan bahwa
tentara Sultan Muhammad Al Fatih tidak pernah meninggalkan solat wajib
sejak baligh & separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan solat
tahajjud sejak baligh. Hanya Sulthan Muhammad Al Fatih saja yang tidak
pernah meninggalkan solat wajib, tahajud & rawatib sejak baligh
hingga saat kematiannya. Para ulama mengisyaratkan bahwa beliau adalah
pemuda yang dimaksudkan Rasul SAW ketika menubuwahkan kejayaan Islam.
“Konstantinopel akan ditaklukkan oleh tentara Islam. Rajanya adalah
sebaik-baik raja & tentaranya adalah sebaik-baik tentara” (Nabi
Muhammad).
“Aku mendengar baginda Rasulullah SAW mengatakan seorang lelaki soleh
akan dikuburkan di bawah tembok tersebut dan aku juga ingin mendengar
derapan tapak kaki kuda yang membawa sebaik-baik raja yang mana dia akan
memimpin sebaik-baik tentara seperti yang telah diisyaratkan oleh
baginda Rasul” (Abu Ayyub al-Anshari kepada panglima Bani Umayyah).
Dari sekian banyak para tokoh-tokoh Islam tersebut yang saya
ceritakan beberapa orangnya merupakan orang-orang yang menjadikan masa
mudanya dengan ukiran sejarah. Sumpah setia mereka akan syahadah luar
biasa. Tak salah bila Nabi Saw berucap tentang Pemuda, “Ada tujuh
golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari yang tiada naungan
kecuali naungan-Nya,” lalu beliau menyebutkan di antaranya, “Seorang
pemuda yang tumbuh dalam penyembahan kepada Rabbnya.”
Sudahkah kita bersumpah setia selaksana para pemuda Islam seperti
mereka di atas? Ataukah kita masih menjadi pemuda yang hidup di bawah
bayang-bayang ayah, ibu, orang tua, keluarga, dan romansa masa lalu?
Saya teringat nasehat seorang kawan, “innal fata man yaqul ha ana
dza, laysal fata man yaqulu ka na abi..!! (Seorang pemuda ialah siapa
yang berani menepuk dada dan berkata “inilah aku”. Bukan pemuda yang
mengatakan “adalah ayahku” alias membanggakan orang lain semata).
“inna fii yadii sukban amrul ummah wa fii aqdaamiha hayataha”
(Sungguh di tangan pemuda-lah masa depan / urusan ummat, dan di atas pundaknyalah kelangsungan kehidupannya)
Oleh karenanya, saya sampaikan sebuah pesan untuk saya dan para pemuda, ”Wahai Pemuda, Nyalakan Semangatmu…!!!”
Sumber : http://masjustice.wordpress.com
Posting Komentar